Rabu, 29 Oktober 2008

NASEHAT MEMILIH ISTRI

Sedih aku. Kenapa ada ikhwan yang menolak akhwat hanya gara-gara fisik?! Padahal akhwat itu baik, cerdas, faham agama pula. Pokoknya insya Allah ia sholihah, tapi kenapa ada ikhwan yang menolaknya hanya gara-gara dia tidak cantik?!

Mereka, para ikhwan yang mementingkan kecantikan itu, mungkin beralasan dengan berkata bahwa cantik kan termasuk di dalam syarat-syarat wanita untuk dinikahi?! Mereka pun mungkin akan bilang bahwa haditsnya shahih lho! Tapi sayang, mungkin mereka nggak baca sampai akhir kalimat bahwa memilih wanita yang baik agamanya itu lebih selamat!

Mereka mungkin terus bilang, kalau mencari istri yang baik agamanya yang kebetulan cantik boleh khaaan?! Ya memang boleh, tapi pas kebetulan nggak cantik langsung di tolak khaaan?!

***
Ah, andai saja mereka tahu bahwa di zaman sekarang ini orang yang kaya itu akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Dan istri yang hebat di zaman ini adalah yang sanggup hidup miskin. Dan istri yang bijak di zaman ini adalah yang sanggup hidup kaya. Semua kan bisa bilang ?saya siap hidup susah? tapi dia nggak akan sanggup kalau nggak hebat. Semua juga siap hidup enak tapi dia akan bangkrut kalau nggak bijak.

Andai saja mereka tahu bahwa istri yang hebat dan bijak itu hanya ada pada istri yang sholihah. Dia lah yang qanaah, yang sanggup hidup dalam keadaan apapun yang diberikan suaminya kepadanya. Dia akan merasa cukup atas apa yang ada. Dan akan bersyukur atas kehidupan yang menyenangkan seperti dia akan bersabar atas kehidupan yang menyusahkan.

***
Mungkin para ikhwan itu hanya memaknai wanita yang baik agamanya itu sebagai wanita yang pakai jilbab panjang dan manis kalau tersenyum. Yang mungkin dari jilbab wanita tersebut mereka bisa menilai bahwa ia faham agama, dan dari senyumannya mungkin mereka bisa menilai bawa ia baik akhlaknya. Tapi mereka tidak tahu bahwa panjangnya jilbab dan manisnya senyuman hanyalah apa yang tampak di luar, sedangkan yang tidak tampak akan mereka ketahui setelah menikah.

Mereka akan tahu istri mereka sebenarnya ketika mereka sudah serumah dengannya, bukan di rumah orang tua ataupun di rumah mertua. Karena di rumah sendiri akan tampaklah seorang istri itu sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai anak orangtuanya yang manja dan selalu diturutkan keinginannya, ataupun sebagai menantu yang rajin dan akan selalu menampakkan kebaikan kepada mertuanya.

Mungkin sebaiknyalah orang-orang yang sudah menikah itu tinggal di rumahnya sendiri, walaupun harus kontrak atau kredit. Karena di rumah itu akan tampaklah sifat asli istri dalam menyikapi hidup yang diberikan suaminya kepadanya. Mereka akan tahu apakah jilbab isteri mereka membuktikan kefahamannya dalam agama, dan apakah manis senyuman mereka membuktikan kebaikan akhlaknya. Tetap dia pakaikah jilbab yang panjang itu ketika terik matahari panas menghujam?! Tetap adakah senyuman manis itu ketika lebat turunnya hujan?!

***
Isteri yang sholihah, dialah yang qanaah.
Yang tahu hari tak selalu cerah tapi dia tak berubah.

Istri yang sholihah itu tidak harus kaya, kalau pun kaya Alhamdulillah.
Dia juga tidak harus cantik, kalau pun cantik itu hadiah.

Isteri yang sholihah itu adalah yang qana?ah, senangnya berada di rumah.
Keluar rumah hanya untuk belanja atau pergi bersama suaminya.
Dia tahu bahan makanan telah mengalami kenaikan harga,
dan tidak menyusahkan suaminya dengan segala tuntutannya.

Ada juga memang wanita yang bekerja di luar rumah,
tapi yang sholihah, dia mau berhenti kerja kalau suaminya memerintahkannya,
dan tetap bekerja kalau suaminya meridhoinya.

***
Kau mungkin bingung bagaimana mungkin mendapatkan wanita shalihah
sementara sedari tadi aku terus berkata yang shalihah adalah yang qanaah,
sedangkan qanaah itu tidak tampak di mata.

Yang jelas, nggak usah muluk-muluk cari yang cantik,
karena yang cantik seperti bintang di langit.
Mungkin dia mudah ditemukan, bahkan di gelap malam,
tetapi sadarilah dia tak mudah dijangkau tangan.
Ketika itu pun kau mungkin melihatnya berkilauan,
tetapi sadarilah ketika siang dia menghilang.

Isteri yang sholihah itu seperti mutiara di dasar laut,
tak selalu putih terkadang terbungkus lumut.
Di dalam cangkangnya dia senang berada,
menjaga diri dan tak mudah digoda.

Kau mungkin harus menyelam untuk menemukannya.
Tapi kau akan tahu seberharga apa dia ketika kau mendapatkannya.

***
"Tiada kekayaan yg diambil seorang mukmin setelah takwa kepada Allah yang lebih baik dari istri sholihah.? [Hadits Riwayat Ibn Majah]

-Mutiara-
yang berusaha menjadi seberharga namanya?

http://mutiarasuamiku.blogspot.com/

Selasa, 28 Oktober 2008

SUAMI ISTRI KOMPAK

baitijannati. “Mama nggak usah turut campur deh dengan urusan-urusan papa. Yang penting papa bisa kasih duit cukup, dan pekerjaan mama cukup mengurus rumah ini dengan baik,”ungkap Ardi. Nina, sang istri pun hanya terdiam dalam pilu mendengar kata-kata yang meluncur deras dari suaminya.


Di hadapan istrinya, Rinto menegaskan,”Mama kemanakan sih uang yang papa kasih? Kok selalu tidak cukup. Memangnya cari duit itu gampang?”ungkap Rinto dengan nada marah. Dan Tias pun tak kalah berangnya menanggapi omelan suaminya,”Dulu Mas yang minta aku berhenti kerja. Kalau tidak kan nggak akan seperti ini. Aku juga bisa kok cari duit sendiri, supaya aku nggak terlalu tergantung padamu.”Tak kalah hebohnya adalah apa yang dikatakan Elen kepada suaminya,”Mas, krisis ekonomi semakin menggila. Gaji Mas pas-pasan. Sudahlah… biar aku saja yang kerja. Dengan jabatanku sebagai manajer di perusahaanku, kesulitan ekonomi rumah tangga kita akan beres. Sekarang Mas saja yang ngurusin anak-anak di rumah”Pertengkaran-pertengkaran kecil semacam ini, barangkali sering kita dengar di dalam sebuah kehidupan suami istri. Suami tak puas dengan apa yang dilakukan istri, pun demikian, istri pun tak puas dengan apa yang dilakukan suami. Akibatnya, antara suami dan istri senantiasa saling tuntut-menuntut.


Suami merasa dirinya capek karena harus mencari nafkah untuk menghidupi istri dan anak. Istri pun merasa sudah begitu letih disibukkan oleh setumpuk pekerjaan kerumahtanggaan yang rasanya tak ada habis-habisnya. Kalau sudah demikian, pertengkaran adalah perkara yang sangat mudah terjadi. Rasanya tak ada lagi kebahagiaan yang mampu diharapkan dari kebersamaannya sebagai suami-istri. Yang tersisa hanyalah kekecewaan. Mengapa ini bisa terjadi?Jika kita renungkan dalam-dalam, kehidupan suami-istri adalah kehidupan yang dari awal telah dirancang dan disepa-kati oleh dua insan untuk mewujudkan kebahagiaan, ketenangan dan kasih sayang. Namun, seringkali berbagai harapan keindahan itu sirna ditelan oleh pertengkaran-pertengkaran yang berawal dari ketidakpahaman baik pihak suami maupun istri akan arti sebuah pernikahan.


Islam sebagai sebuah aturan kehidupan telah memesankan bahwa sebuah kehidupan berjudul “suami-istri” adalah kehidupan “persahabatan”, dan bukan “kemitraan”. Berbeda dengan kemitraan yang lebih bernuansa perhitungan untung-rugi - layaknya sebuah perdagangan. Kehidupan persahabatan yang terjalin diantara suami-istri tidak didasarkan pada ada tidaknya keuntungan ataupun kerugian dari kebersamaan mereka. Suami sebagai sahabat sejati bagi istri, pun sebaliknya istri sebagai sahabat sejati bagi suami dimaksudkan untuk mewujudkan sebuah kedamaian dalam kebersamaan kehidupan yang mereka jalani.


Pintu pernikahan yang telah mendudukkan mereka sebagai pasangan suami istri akan menjadikan suami merasa tenteram dan damai di sisi istrinya, begitu pula sebaliknya, seorang istri akan merasa damai dan tenteram di sisi suaminya. Karena watak asli sebuah pernikahan adalah “ketenteraman”.


Islam telah menggariskan apa-apa yang menjadi hak istri atas suaminya dan hak suami atas istrinya. Seorang suami oleh Islam telah diberikan hak untuk menduduki posisi sebagi pemimpin rumah tangga. Namun, dengan posisi ini suami tidaklah lantas bertindak secara otoriter bak seorang raja yang tak bisa dilanggar perintahnya.


Seorang istri berhak untuk menjawab atau menanggapi ucapan suaminya, berdiskusi dengannya serta membahas apa saja yang dikatakannya. Sebab pada dasarnya keduanya adalah dua orang sahabat, bukan pihak yang memerintah dan diperintah, bukan atasan dan bawahan.Memang benar, kewajiban nafkah ada di pundak suami, sehingga secara ekonomi seorang istri pasti sangat bergantung kepada sang suami. Masalah ekonomi oleh banyak kalangan sering diidentikkan dengan masalah “hidup dan mati”, lantaran menyangkut urusan “perut” yang tidak bisa ‘tidak dipenuhi’.


Meski nafkah adalah urusan yang sangat urgen menyangkut “hidup dan mati”, namun kondisi ini bukan berarti membolehkan suami berlaku layaknya seorang majikan yang bebas memperlakukan istri semaunya sendiri, menjadikannya sebagai alasan untuk berbuat semena-mena terhadap istri, mengancam ataupun mencela istri lantaran kehidupan istri ada di tangannya.


Islam mengajarkan kepada seorang suami untuk bersikap lemah lembut kepada istri, menghargai istri, penuh kasih sayang serta menjauhkan diri dari sikap ororiter dan semena-mena. “Janganlah kalian pernah mengetuk pintu rumah (istri) pada malam hari sampai wanita itu menyisir rambutnya yang kusut dan istri yang ditinggal suaminya itu mempercantik diri.” Hadits ini menggambarkan betapa seorang suami diajarkan untuk berbuat baik pada istrinya.Sebagaimana Islam meletakkan kewajiban nafkah di pundak suami, Islam sekaligus menempatkan seorang istri sebagai penanggung jawab urusan rumah tangga suaminya.


Istrilah yang harus mengelola segala perkara yang menyangkut kerumahtanggaan dengan sebaik-baiknya. Diakui, tugas istri tidaklah ringan. Mulai dari melayani keperluan suami, menun-taskan pekerjaan-pekerjaan rutin seperti menyiapkan makanan sekeluarga, membe-reskan pakaian, merapikan rumah, menja-ga kebersihan rumah dan lingkungan, sampai memegang tanggung jawab penuh dalam pengasuhan dan pendidikan anak.Dengan peran ini, seorang istri tidak boleh berpikiran bahwa dirinya telah diposisikan sebagai “babu” lantaran jenis-jenis pekerjaan kerumahtanggaan yang dibebankan kepadanya.


Para istri jangan sampai termakan oleh anggapan-anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa pekerjaan seorang istri dalam lingkungan rumah tangga (domestik) dianggap pekerjaan yang “kurang bergengsi”. Justru dalam kaca mata Islam, peran istri dinilai sangat mulia. Peran istri tak pernah bisa dinilai dengan uang. Bayangkan dengan peran yang disandangnya untuk hamil, menyusui, mengasuh, mendidik dan membesarkan anak, perusahaan mana yang mampu menggaji pekerjaan sehebat itu? Jika seorang istri memahami peran tersebut, niscaya ia akan begitu banyak bersyukur telah dipercaya untuk mengemban peran besar tersebut.


Begitulah Islam memberikan koridor pembagian peran suami-istri dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Jika hal ini dipahami baik oleh suami maupun istri, maka kasus-kasus pertengkaran semodel kasus di atas tak akan pernah terjadi. Jika demikian, model rumah tangga sakinah mawadah wa rahmah tentu akan mudah diwujudkan. (Arini/FR) (www.baitijannati.wordpress.com)

Tips Memecahkan Problema Rumah Tangga Bagi Wanita

  • Bersabar dan Bijaksana


Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh pada saat berkobarnya api konflik rumah tangga adalah memadamkan apinya dengan air kesabaran dan kebijaksanaan. Jika tidak, kobaran api semakin besar hingga melalap habis ladang dan merusak hasilnya. Allah Swt tidak menyukai kerusakan.
Ketika terjadi masalah dalam rumah tangga, istri yang cerdas tidak menceritakan hal itu kepada orang lain bahkan dia justru bersabar dan berupaya untuk mereda gejolak emosi dan kemarahan suaminya atau menahan diri dari berbicara. Dia menegur suaminya pada lain waktu ketika jiwa suami sudah tenang sehingga teguran itu menjadi teguran maaf dan cinta.

  • Memaafkan dan Berprasangka Baik kepada Orang Lain


Memaafkan dan berprasangka baik kepada orang lain merupakan salah satu alat bantu meraih karunia Allah Swt dalam memecahkan masalah rumah tangga. Karena berprasangka baik, mengartikan ucapan ataupun tindakan sebagai kebaikan serta memaafkan, merupakan sikap yang dapat melanggengkan iklim kondusif antara suami istri.
Tiap-tiap suami istri telah merasakan hidup di suatu lingkungan yang berbeda dari lingkungan pasangannya dan memandang dengan cara yang berbeda dari pasangannya baik dalam hal kebiasaan, ras dan budaya, maka mustahil menyatukan pasangan suami istri secara sempurna dalam hitungan beberapa hari atau pekan saja. Oleh karena itu, seyogyanya suami atau istri berprasangka baik terhadap pasangannya dan memaafkan. Betapa banyaknya masalah muncul dalam berumah tangga, bahkan tidak menutup kemungkinan berakhir pada perceraian karena rumah tangga tersebut tidak memiliki akhlak mulia.

  • Menjaga Lisan


Problematika sering kali dikomandani oleh lisan. Seandainya suami-istri bertakwa kepada Allah Swt dalam menggunakan lisannya, niscaya tidak akan muncul banyak persoalan, tidak akan membesar, dan tidak akan menyentuh emosi antar mereka berdua.
Seandainya lidah istri yang shalehah senantiasa sibuk dengan dzikir, menyebut nama Allah Swt dan mengucapkan kata-kata yang baik, niscaya setan tidak akan sanggup menemukan celah untuk merusak ikatan pernikahan.
Istri hendaknya senantiasa ingat akan firman Allah Swt
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Qaf : 18)
Setiap ucapan yang terlontar dari lisannya merupakan salah satu penghapus keburukan hubungan antar suami-istri yang paling utama.

  • Menjaga Rahasia


Istri yang shalehah senantiasa saling berjanji dengan suaminya untuk menjaga rahasia rumah tangga dan tidak mengeluh selain kepad Allah kecuali jika sangat diperlukan serta dengan maksud agar persoalan itu tidak berlarut-larut.

  • Berkonsultasi dengan Ahli Dzikir


Ketika masalah menjadi serius, akal sehat mulai hilang, maka diperlukan bantuan pandangan orang-orang shaleh dan orang-orang baik. Betapa banyak problem diatasi dengan cara ini. Hanya saja, dengan syarat harus memilih konsultan yang tepat.

  • Rela Atas Qadha dan Qadar


Terkadang, istri diberi ujian berupa suami yang mandul, memiliki kebiasaan dan perilaku yang buruk ata miskin dan lain-lain. Istri wajib bersabar dan rela. Hendaknya dia senantiasa ingat akan firman Allah Swt “Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (QS. Ath-Thalaq : 7)

Senin, 08 September 2008

Mendidik Bukan Hanya Sekedar Menyekolahkan

Penulis: Ummu Ayyub
Muroja’ah: Ustadz Subhan Khadafi, Lc.

Data sensus penduduk di negeri ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduknya beragama islam. Ini adalah sebuah realita yang seharusnya dengannya kita bisa melihat adanya sebuah generasi yang tangguh, tetapi ternyata tidak.

Mari kita lihat keadaan diri dan anak-anak kita. Kenyataannya masih sangat sedikit yang benar-benar serius memperhatikan pendidikan. Sebagian besar acuh dan tidak peduli…

Mungkin banyak yang merasa keberatan dengan pernyataan di atas dan menyanggah: “TIDAK! Saya memperhatikan pendidikan anak-anak saya! Saya akan melakukan segalanya demi pendidikan mereka. Seandainya harus menjual tanah, saya akan melakukannya untuk bisa menyekolahkan mereka sampai jadi sarjana! Biarpun saya cuma lulusan SMP, tapi saya ingin anak saya berpendidikan tinggi!”

Seperti inilah yang kebanyakan kita pahami tentang kewajiban mendidik anak, yaitu menyekolahkan anak sampai tinggi, atau bagaimana supaya anak menjadi cerdas, pintar, dan tidak gagap teknologi.

Untuk bisa menyekolahkan anak sampai sarjana, kita rela menjual tanah atau cari hutangan tapi untuk agama mereka kita tidak peduli.

Kita bisa geger ketika melihat nilai matematika anak kita dapat angka 3, lalu segera keliling cari tempat kursus yang bagus untuknya. Tapi kita tidak peduli (baca: tidak geger) ketika anak kita diajari pelajaran PPKN di sekolah; anak kita diajari bahwa agama di Indonesia ini ada lima dan semua agama itu sama. Semuanya mengajarkan kebaikan, jadi harus saling menghormati. Padahal telah nyata kebenaran bahwa agama yang Allah subhanahu wa ta’ala ridhoi hanyalah islam. Kata “hanyalah” menunjukkan bahwa tidak ada yang lain. Hal ini termasuk hal yang besar bagi seorang muslim yang tidak layak untuk disepelekan karena ini menyangkut aqidah seseorang.

Kebanyakan dari kita, seandainya pun memperhatikan kelakuan anak, berkelakuan baik yang dimaksud tolok ukurnya adalah masyarakat. Jadi ketika melihat putri kesayangan jalan-jalan ke mall dengan pakaian ‘pas-pasan’ bersama teman laki-lakinya, ini -menurut pengertian di sini- masih termasuk dalam kriteria ‘berkelakuan baik dan tidak nakal’ karena masyarakat menganggap wajar bagi seorang ABG. Atau ketika putra kesayangan membeli majalah untuk melihat horoscope (ramalan bintang), ini juga masih masuk dalam kriteria ‘berkelakuan baik dan tidak nakal’ karena masyarakat juga menganggap ini adalah hal yang lumrah. Padahal jika dilihat dari tolok ukur yang benar, keduanya bertentangan dengan syariat.

Wahai para pendidik!

Sikap mendidik yang seperti ini secara tidak langsung seperti kita mengatakan pada anak kita: “Wahai anakku! Kejarlah duniamu! Lupakan akhiratmu!”

Padahal tentang kehidupan dunia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seandainya dunia sebanding dengan satu sayap sayap lalat di sisi Allah, niscaya Dia tidak akan memberikan seteguk air pun bagi seorang kafir.” (HR. At-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih”)

Bahkan Allah membenci orang yang pandai dalam urusan dunia tapi bodoh dalam urusan akhirat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:

“Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam urusan akhiratnya.” (Shahih Jami’ Ash Shaghir)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Rum:7)

Ayat di atas merupakan peringatan keras bagi orang yang hanya mementingkan urusan dunia sedangkan urusan akhiratnya dilupakan.

Adapun para ulama menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut,

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Umumnya manusia tidak memiliki ilmu melainkan ilmu duniawi. Memang mereka maju dalam bidang usaha, akan tetapi hati mereka tertutup, tidak bisa mempelajari ilmu dienul islam untuk kebahagiaan akhirat mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/428)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata: “Pikiran mereka hanya terpusat kepada urusan dunia sehingga lupa urusan akhiratnya. Mereka tidak berharap masuk surga dan tidak takut neraka. Inilah tanda kehancuran mereka, bahkan dengan otaknya mereka bingung dan gila. Usaha mereka memang menakjubkan seperti membuat atom, listrik, angkutan darat, laut dan udara. Sungguh menakjubkan pikiran mereka, seolah-olah tidak ada manusia yang mampu menandinginya, sehingga orang lain menurut pandangan mereka adalah hina. Akan tetapi ingatlah! Mereka itu orang yang paling bodoh dalam urusan akhirat dan tidak tahu bahwa kepandaiannya akan merusak dirinya. Yang tahu kehancuran mereka adalah insan yang beriman dan berilmu. Mereka itu bingung karena menyesatkan dirinya sendiri. Itulah hukuman Allah bagi orang yang melalaikan urusan akhiratnya, akan dilalaikan oleh Allah ‘azza wa jalla dan tergolong orang fasik. Andaikan mereka mau berpikir bahwa semua itu adalah pemberian Allah ‘azza wa jalla dan kenikmatan itu disertai dengan iman, tentu hidup mereka bahagia. Akan tetapi lantaran dasarnya yang salah, mengingkari karunia Allah, tidaklah kemajuan urusan dunia mereka melainkan untuk merusak dirinya sendiri.” (Taisir Karimir Rahman 4/75)

Dunia oh… dunia!
Membuat lalai para pengejarnya!

Perhatikanlah dalam hadis ini bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala mengancam dengan kehinaan jika umat islam sibuk dalam urusan dunia dan lalai dari urusan akhirat!

Diriwayatkan oleh ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda yang artinya:

“Apabila kalian berjual beli dengan sistem ‘inah (satu barang dengan dua harga-termasuk salah satu jenis riba) dan kalian sibuk dengan urusan peternakan serta urusan pertanian dan kalian meninggalkan jihad, niscaya Allah akan timpakan kerendahan kepada kalian yang tidak akan dicabut dari kalian sebelum kalian kembali kepada agama kalian.” (Riwayat Abu Daud (3462) dan riwayat ini shahih)

Wahai pendidik!

Untuk mengangkat umat ini dari kehinaan Allah telah memberi solusi, yaitu dengan kembali pada dien yang lurus. Kondisi kaum muslimin saat ini masih jauh dari nilai-nilai islam. Kita bisa melihat saat adzan dzuhur dikumandangkan, masjid-masjid sepi dari para jamaah padahal pada waktu yang bersamaan pasar-pasar dan jalan-jalan ramai dipenuhi oleh kaum muslimin. Kita juga bisa melihat orang-orang yang berusaha untuk berpegang teguh pada sunnah dianggap aneh. Seperti misalnya celana cingkrang (di atas mata kaki), jenggot, jilbab syar’i, tidak mau berjabat tangan dengan lawan jenis, menjauh dari ibadah-ibadah yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan masih banyak lagi. Ini adalah keadaan yang menyedihkan karena syariat islam dipandang asing oleh pemeluknya sendiri.

Mari kita belajar dari doa Nabi Ibrohim ‘alaihissalam. Ketika beliau berdoa tentang anak dan keturunannya, pandangannya jauh kedepan. Tidak sekedar pada kenikmatan-kenikmatan dunia. Tetapi yang beliau harapkan adalah agar Allah menjadikan mereka sebagai umat yang tunduk patuh pada-Nya, mengutus rasul pada mereka sehingga tidak tersesat dalam kegelapan, menjauhkan mereka dari dosa terbesar yang membinasakan (syirik).

Demikianlah wahai para pendidik!
Tujuan kita adalah tujuan yang mulia!
Mengajak generasi meniti jalan yang lurus untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Tujuan kita bukan sekedar berapa nilai matematika anak kita, bagaimana kemampuan bahasa inggrisnya, dapat rangking berapa, bisa masuk universitas mana, bisa kerja dimana, bisa belikan kita mobil berapa, atau bisa jadi pejabat tidak.

Tidak sependek itu!

Tidak sekedar anak kita bisa menyelesaikan ujian akhir semester dengan sukses dan melupakan yang lain padahal ada ujian yang menanti yang jauh lebih besar ketika kita ditanya siapa Robbmu, apa agamamu, dan siapa nabimu.

Maka seharusnya kita segera mempersiapkan diri.
Mendidik diri-diri kita dan keluarga untuk kembali pada dien ini.

Menempuh jalan yang lurus meski jalan itu terasa asing karena sedikitnya pengikut.
Kembali pada al Quran dan as Sunnah dengan pemahaman salafush sholih.

Terangkatnya kemuliaan umat ini adalah dengan kembali pada dien yang lurus. Bukan dengan harta atau kekuasaan.

Seandainya mulia itu dengan kekuasaan, tentu Fira’un termasuk ke dalam orang-orang yang mulia.

Seandainya mulia itu dengan harta, tentu Qorun lebih mulia dari kita.

Kita jadi sadar bahwa ternyata memang masih sedikit yang benar-benar memperhatikan pendidikan generasi ini.

Duhai pendidik sejati! Kemana harus dicari?

Wallahu a’lam

***

Artikel www.muslimah.or.id

Bingkisan Paling Berharga Untuk si Kecil Adalah Aqidah

Penulis: Ummu Ayyub
Dimurojaah oleh: Ustadz Subhan Khadafi

Fase kanak-kanak merupakan tempat yang subur bagi pembinaan dan pendidikan. Masa kanak-kanak ini cukup lama, dimana seorang pendidik bisa memanfaatkan waktu yang cukup untuk menanamkan dalam jiwa anak, apa yang dia kehendaki. Jika masa kanak-kanak ini dibangun dengan penjagaan, bimbingan dan arahan yang baik, dengan izin Allah subhanahu wata’ala maka kelak akan tumbuh menjadi kokoh. Seorang pendidik hendaknya memanfaatkan masa ini sebaik-baiknya. Jangan ada yang meremehkan bahwa anak itu kecil.

Mengingat masa ini adalah masa emas bagi pertumbuhan, maka hendaknya masalah penanaman aqidah menjadi perhatian pokok bagi setiap orang tua yang peduli dengan nasib anaknya.

Penanaman Aqidah

Aqidah islamiyah dengan enam pokok keimanan, yaitu beriman kepada Allah subhanahu wata’ala, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, serta beriman pada qadha’ dan qadar yang baik maupun yang buruk, mempunyai keunikan bahwa kesemuanya merupakan perkara gaib. Seseorang akan merasa hal ini terlalu rumit untuk dijelaskan pada anak kecil yang mana kemampuan berfikir mereka masih sangat sederhana dan terbatas untuk mengenali hal-hal yang abstrak.

Sebenarnya setiap bayi yang lahir diciptakan Allah subhanahu wa ta’ala di atas fitrah keimanan.

Allah berfirman dalam QS. Al ?’rof: 172 yang artinya,

“Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menajdi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah).’”

Adalah bagian dari karunia Allah subhanahu wata’ala pada hati manusia bahwa Dia melapangkan hati untuk menerima iman di awal pertumbuhannya tanpa perlu kepada argumentasi dan bukti yang nyata. Dengan demikian, menanamkan keyakinan bukan dengan mengajarkan ketrampilan berdebat dan berargumentasi, akan tetapi caranya adalah menyibukkan diri dengan al Quran dan tafsirnya, hadits dan maknanya serta sibuk dengan ibadah-ibadah. Kita perlu membuat suasana lingkungan yang mendukung, memberi teladan pada anak, banyak berdoa untuk anak, dan hendaknya kita tidak melewatkan kejadian sehari-hari melainkan kita menjadikannya sebagai sarana penanaman pendidikan baik itu pendidikan aqidah maupun pendidikan lainnya.

Teladan Kita

Jika kita perhatikan para rasul dan nabi, mereka selalu memberikan perhatian yang besar terhadap keselamatan aqidah putera-putera mereka. Perhatian nabi Ibrahim, diantaranya adalah sebagaimana terdapat dalam firman Allah subhanahu wata’ala yang artinya:

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yaqub. (Ibrahim berkata): Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama islam.” (QS. Al Baqoroh: 132)

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: Ya Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.” (QS. Ibrahim: 35)

Demikian juga Lukman mempunyai perhatian yang besar pada puteranya sebagaimana wasiatnya yang disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya:

“(Luqman berkata): Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Luqman: 16)

“Dan (ingatlah) ketika luqman berkata kepada anaknya, di waktu dia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)

Sejak Masih Kecil

Perhatian terhadap masalah aqidah hendaknya diberikan sejak anak masih kecil. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam memberikan perhatian kepada anak-anak meski mereka masih kecil. Beliau membuka jalan dalam membina generasi muda, termasuk diantaranya Ali bin Abi Thalib yang beriman kepada seruan nabi ketika usianya kurang dari sepuluh tahun. Begitu juga dalam menjenguk anak-anak yang sakit pun beliau memanfaatkan untuk menyeru mereka kepada Islam yang ketika itu di hadapan kedua orang tua mereka.

Kita juga bisa melihat bagaimana Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasalam mengajarkan permasalahan aqidah pada Ibnu Abas radhiyallahu ‘anhu yang pada saat itu dia masih kecil. Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata: Pada suatu hari saya pernah membonceng di belakang Rasulullah lalu beliau bersabda, “Wahai anak muda, sesungguhnya aku mengajarkan kepadamu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Ia juga akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya ada di hadapanmu. Apabila engkau meminta sesuatu, mintalah kepada Allah. Ketahuilah, andaikan saja umat seluruhnya berkumpul untuk memberikan kemanfaatan kepadamu mereka tidak akan bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaikan saja mereka bersatu untuk menimpakan kemudharatan terhadapmu, mereka tidak akan bisa memberikan kemudharatan itu terhadapmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembar catatan telah kering.”

Jika para teladan kita begitu perhatian dengan anak-anak sejak mereka masih kecil, maka sangat mengherankan jika kita membiarkan anak-anak kita tumbuh dengan kita biarkan begitu saja terdidik oleh lingkungan dan televisi.

Masih banyak kita dapati bahwa oleh banyak orang, anak kecil dianggap tidak layak untuk diberi penjelasan mengenai Al Quran dan maknanya, dianggap tidak berhak untuk diberi perhatian terhadap mentalitasnya. Terkadang dengan berdalih “Kemampuan berfikir anak kecil masih sederhana, maka tidak baik membebani mereka dengan hal-hal yang rumit dan berat. Tidak baik membebani anak di luar kesanggupan mereka.” Atau kita juga banyak mendapati ketika anak terjatuh pada kesalahan-kesalahan, mereka membiarkan begitu saja dengan berdalih “Ah… tidak apa-apa, mereka kan masih kecil.”

Dalih yang disampaikan memang tidak sepenuhnya salah, namun sayangnya tidak diletakkan pada tempatnya. Wallahu a’lam.

Maroji’: Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Tilf (terj. Mendidik Anak Bersama Nabi)

***

Artikel www.muslimah.or.id

Jumat, 29 Agustus 2008

Jauhkan Anak dari Tathoyyur!

Penyusun : Ummu Ziyad
Muroja’ah : Ust. Abu Mushlih Ari Wahyudi

DUK! Terdengar suara keras dari halaman. Ternyata si kecil Fida’ terjatuh keras. Lalu sang ibu pun tergopoh-gopoh berlari dari dalam. “Nah… nak… itu tandanya harus berhenti main. Ayo masuk rumah!” Lain lagi di rumah tetangga. Sang anak yang sudah berusia 11 tahun mendengar pembantu di dapur berkata, “Aduh… nasinya basah… siapa ya yang sakit di kampung?”

Wahai ibu… kasihanilah anakmu dan keluarga yang menjadi tanggung jawabmu di rumah. Sungguh dengan terbiasa melihat dan mendengar kejadian semacam itu, maka akan mengendap dalam benak mereka perbuatan-perbuatan yang tidak lain merupakan tathoyyur. Padahal tidaklah tathoyyur itu melainkan termasuk kesyirikan. Apakah kita hendak mengajarkan kepada anak kesayangan kita dengan kesyirikan yang merusak fitrah tauhid kepada Allah? Wal’iyyadzubillah.

Tathoyyur

Tathoyyur atau thiyaroh secara bahasa diambil dari kata thair (burung). Hal ini dikarenakan tathoyyur merupakan kebiasaan mengundi nasib dengan menerbangkan burung; jika sang burung terbang ke kanan, maka diartikan bernasib baik atau sebaliknya jika terbang ke kiri maka berarti bernasib buruk. Dan tathoyur secara istilah diartikan menanggap adanya kesialan karena adanya sesuatu (An Nihayah Ibnul Atsir 3/152, Al Qoulul Mufid Ibnu Utsaimin, 2/77. Lihat majalah Al-Furqon, Gresik). Walaupun pada asalnya anggapan sial ini dengan melihat burung namun ini hanya keumuman saja. Adapun penyandaran suatu hal dengan menghubungkan suatu kejadian untuk kejadian lain yang tidak ada memiliki hubungan sebab dan hanya merupakan tahayul semata merupakan tathoyur. Misalnya, jika ada yang bersin berarti ada yang membicarakan, jika ada cicak jatuh ke badan berarti mendapat rezeki, jika ada makanan jatuh berarti ada yang menginginkan dan kepercayaan-kepercayaan yang tidak ada dasarnya sama sekali.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raaf [7]:131)

Syaikh Abdurrahman berkata, “Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Kesialan mereka, yaitu ‘Apa yang ditakdirkan kepada mereka.’ Dalam suatu riwayat, ‘Kesialan mereka adalah di sisi Allah dan dari-Nya.’ maksudnya kesialan mereka adalah dari Allah disebabkan kekafiran dan keingkaran mereka terhadap ayat-Nya dan rasul-rasul-Nya.” (Fathul Majid).

Sedangkan firman Allah yang artinya,

“Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas.” (QS. Yaasiin [36]:19)

Ibnul Qoyyim rohimahullah menjelaskan bahwa bisa jadi maksudnya adalah kemalangan itu berbalik menimpa dirimu sendiri. Artinya, tathoyyur yang kamu lakukan akan berbalik menimpamu (Fathul Majid).

Syaikh Abdurrahman bin Hasan menjelaskan bahwa relevansi kedua ayat dalam masalah tathoyyur adalah tathoyyur berasal dari perbuatan orang-orang jahiliyah dan orang-orang musyrik. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam juga telah menafikan adanya tathoyyur dalam sabdanya,

“Tidak ada ‘adwa, tidak ada tathoyyur, tidak ada hamah dan tidak ada shafar.” (HR. Bukhori dan Muslim). Imam Muslim menambahkan dengan, “Tidak ada bintang dan tidak ada ghul (hantu).” (*)

(*) Penulis pada kesempatan ini hanya akan membahas penafian Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam dengan adanya tathoyyur. Adapun pengertian istilah-istilah dalam hadits ini akan dibahas tersendiri dalam rubrik akidah, insya Allah.

Bahaya Mempercayai Tathoyyur

Ketahuilah wahai Ibu, sesungguhnya tathoyyur adalah perbuatan yang dapat merusak tauhid karena ia termasuk kesyirikan. Terdapat riwayat dari Ibnu Mas’ud rodhiallahu ‘anhu secara marfu’,

“Tathoyyur adalah kesyirikan, tathoyyur adalah kesyirikan, dan tidak ada seorang pun dari kita kecuali (telah terjadi dalam dirinya sesuatu dari hal itu), akan tetapi Allah menghilangannya dengan tawakal.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dan ia menyatakan shahih dan menjadikan perkataan terakhir adalah dari perkataan Ibnu Mas’ud. Lihat Fathul Majid)

Syaikh Abdurahman bin Hasan menjelaskan bahwa thiyarah termasuk kesyirikan yang menghalangi kesempurnaan tauhid karena ia berasal dari godaan rasa takut dan bisikan yang berasal dari setan (Fathul Majid).

Wahai ibu… kesyirikan merupakan dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah hingga sang pelaku bertaubat atas kesalahannya. Lalu bagaimana lagi jika kesyirikan yang kita lakukan diikuti oleh anak cucu kita. Itu berarti kita menanggung dosa-dosa mereka (karena telah mengikuti bertathoyyur) dengan tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. Na’udzubillah mindzalik. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa melakukan amal keburukan maka baginya dosa dan dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)

Keyakinan Adanya Tathoyyur

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sebaliknya manusia adalah jiwa yang lemah yang juga memiliki musuh-musuh yang akan selalu membisikan was-was dari arah depan, belakang, samping kiri dan kanan. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Dari Mu’awiyah bin Al Hakam bahwasannya ia berkata kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, ‘Di antara kami ada orang-orang yang bertathoyyur.’ Beliau menjawab, ‘Itu adalah sesuatu yang akan kalian temukan dalam diri kalian, akan tetapi janganlah engkau jadikan ia sebagai penghalang bagimu’.” (HR. Muslim)

Syaikh Abdurrahman bin Hasan berkata ketika mengomentari hadits ini, “Dengan ini Beliau mengabarkan bahwa rasa sial dan nasib malang yang ditimbukan dari sikap tathoyyur ini hanya pada diri dan keyakinannya, bukan pada sesuatu yang di-tathoyyurkan. Maka prasangka, rasa takut dan kemusyrikannya itulah yang membuatnya ber-tathoyyur dan menghalangi dirinya, bukan apa yang dilihat dan didengarnya.”

Hal ini jelas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan satu tanda apapun yang menunjukkan adanya kesialan atau menjadi sebab bagi sesuatu yang dikhawatirkan manusia. Ini adalah termasuk kasih sayang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala karena jika ada tanda-tanda semacam itu, tentu manusia tidak akan tenang dalam menjalankan aktifias di dunia. Maka jika muncul rasa was-was dalam hati seseorang karena mendengar atau melihat sesuatu yang itu merupakan tathoyyur, maka hendaklah ia mengucapkan,

“Ya Allah, tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, dan tidak ada yang menolak keburukan kecuali Engkau, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Engkau.” (HR. Abu Daud dengan sanad shahih)

Adapula riwayat hadits dari Ibnu ‘Amr, “Barangsiapa yang mengurungkan hajatnya karena tathoyyur, maka ia benar-benar telah berbuat kemusyrikan. Mereka berkata, ‘Lalu apa yang dapat menghapus itu?’ Ia berkata, ‘Hendaknya orang itu berkata,

‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu dan tidak ada kesialan kecuali kesialan dari engkau dan tidak ada Ilah yang haq selain Engkau.’” (HR.Ahmad)

Jauhkan Anak dari Tathoyyur

Terkadang memang terjadi pada diri sang ibu atau anggota keluarga lain yang mengeluarkan kalimat atau perbuatan yang pada hakekatnya adalah tathoyyur baik disadari atau tidak. Maka kini ketika menyadari bahwa itu adalah kalimat tathoyyur, hendaknya anggota keluarga saling mengingatkan dan menggantinya dengan kalimat yang mengarahkan anak untuk kecintaannya pada dinul Islam. Hal ini dikarenakan anak sangat mudah menyerap hal-hal yang didengar atau dilihatnya dan akan terus membekas sampai sang anak dewasa (dengan tanpa menyadari itu adalah sebuah kesalahan atau kebaikan). Penulis memberikan beberapa contoh yang mungkin biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika anak jatuh atau terluka, maka tidak dikatakan, “Itu tandanya kamu begini dan begitu. Tidak usah diteruskan, dll.” Tetapi karena ia kesakitan dan menangis maka doakanlah ia semacam doa, “La ba’sa thohurun insya Allah.” Dengan demikian anak terbiasa mendengar doa tersebut dan sang ibu menjalankan salah satu sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.

Termasuk kesalahan dalam mendidik adalah ketika mereka terluka kemudian yang disalahkan adalah benda-benda di sekitarnya semisal, “Batunya nakal ya”. Ini hanya akan mengajarkan anak selalu mencari-cari kesalahan pada yang lain tanpa melihat kesalahan dirinya sendiri.

Contoh lainnya, ketika ada yang bersin, tidak dikatakan, “Wah ada yang ngomongin tuh” atau perkataan-perkataan yang tidak berdasar lainnya. Tetapi jika yang bersin mengucapkan “Alhamdulillah”, maka jawablah dengan “Yarhamukallah” yang kemudian akan dijawab kembali oleh yang bersin dengan bacaan, “Yahdikumullah wa yushlih baalakum”.

Bacaan-bacaan ini adalah termasuk sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam yang perlu dibiasakan pada diri anak. Dalam hal pendidikan pada anak yang banyak memerlukan pembiasaan, perlu adanya kerjasama dari anggota keluarga untuk saling mendukung dalam mendidik anak. Pembiasaan pada anak juga terpengaruh dari kebiasaan yang ada pada orang tua dan keluarga. (Lihat kitab Hisnul Muslim karya Sa’id bin Wahf al Qothoni -sudah diterjemahkan- untuk mengetahui do’a-do’a menurut sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari).

Sungguh manis apa yang bisa kita tanamkan kepada sang anak ketika kecil jika mengikuti sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Insya Allah buahnya akan kita rasakan baik dalam waktu yang relatif dekat atau ketika sang anak telah besar nantinya. Ini juga menunjukkan betapa Nabi kita shollallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan segala hal yang baik untuk umatnya. Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam kepada kita.

Maraji’:

1. Majalah Al Furqon edisi 5 tahun III.

2. Fathul Majid (terjemahan edisi revisi). Syaikh Abdurrahman bin Hasan alu Syaikh. Cetakan kelima. 2004.
3. Kitab Tauhid (terjemahan). Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Darul Haq.

***

Artikel www.muslimah.or.id

Minggu, 24 Agustus 2008

KIAT SUKSES MENDIDIK ANAK

Oleh : Andy Rahmat

Suatu ketika, selepas sholat Jum'at, saya sempat ngobrol sejenak dengan sang khotib. Dia bercerita tentang sulitnya mendidik anak saat ini. Ketika umminya dirumah sering bercerita tentang kehidupan rasulullah dan para sahabat kepada anak2nya, ternyata anak2nya justru lebih mengenal tokoh Naruto dibandingkan Abu Bakar atau Umar.

Bahkan, lanjut ustadz yang bergelar Doktor tersebut, suatu ketika ia pulang kerumah dihampiri oleh anaknya yang berumur sekitar 5 tahun dan kemudian bertanya, "Abi, pacaran itu apa sih ?"

Jika ulama seperti beliau saja mengalami kesulitan dalam mendidik anak, bagaimana dengan kita? Bagaimana menjaga anak kita dari pengaruh TV dan lingkungan pergaulannya? Bagaimana seharusnya peran kita sebagai orangtua dalam mendidik anak?

Alhamdulillah, kajian tentang ilmu mendidik anak kemarin digelar di musholla al barokah gedung cyber. Menurut pembicara, ustadzah Herlini Amran, MA. ada 4 faktor yang menjadi kunci sukses mendidik anak:

1. Orangtua
Al-Imam Al-Ghazali dalam Al-Ihya'nya menerangkan bahwa "Anak adalah amanah bagi orang tuanya. Hatinya yang suci merupakan permata tak ternilai harganya, masih murni dan belum terbentuk. Dia bisa menerima bentuk dan corak apapun yang diinginkan. Jika dia dibiasakan dan diajari kebaikan, maka akan tumbuh pada kebaikan & menjadi orang yang berbahagia dunia dan akhirat. Pahalanya bisa dinikmati orang tuanya, guru dan pendidiknya. Jika ia diabaikan dan dibiarkan, maka dia akan menderita dan rusak. Dosanya juga ada di pundak orang yang bertanggung jawab mengurusnya".

Secara umum Rasulullah saw telah menjelaskan tugas dan kewajiban orang tua terhadap anaknya dalam sabda beliau saw yang diriwayatkan oleh Hakim :
- Memberi nama yang baik
- Membaguskan (mengajar) akhlaknya.
- Mengajar baca tulis.
- Mengajar renang.
- Mengajar memanah atau menembak (ketrampilan).
- Memberi makan yang halal, dan
- Menjodohkannya (menikahkannya) bila telah dewasa dan orang tua mampu

2. Ilmu
Dalam mendidik anak, ada 5 hal positif yang harus diberikan oleh orangtua:
- Keteladanan
- Adat kebiasaan
- Nasehat
- Memberikan perhatian
- Memberikan hukuman

Menurut Dorothy Law Nolte, ada hubungan sebab akibat dalam perlakuan yang diberikan kepada anak.. Children Learn What They Live..
- Bila anak sering dikritik, ia belajar mengumpat
- Bila anak sering dikasari, ia belajar berkelahi
- Bila anak sering diejek, ia belajar menjadi pemalu
- Bila anak sering dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
- Bila anak sering dimaklumi, ia belajar menjadi sabar
- Bila anak sering disemangati, ia belajar menghargai
- Bila anak mendapatkan haknya, ia belajar bertindak adil
- Bila anak merasa aman, ia belajar percaya
- Bila anak mendapatkan pengakuan, ia belajar menyukai dirinya
- Bila anak diterima dan diakrabi, ia akan menemukan cinta

3. Lingkungan
Lingkungan memiliki pengaruh yang besar pada pendidikan anak. Sebaik apapun pendidikan anak dalam keluarga namun lingkungannya buruk maka akan berimbas pada prilaku anak begitu juga sebaliknya.

4. Do'a
Dalam mendidik anak, tidak cukup dengan hanya mengandalkan kekuatan akal dan jasmaninya. Bimbingan ilahiyah sangatlah diperlukan. Kelemahan manusia dalam memandang sesuatu yang baik buat si anak begitu relatif. Terkadang ia berpikir bahwa suatu perbuatan yang menurutnya sudah baik untuk pendidikan si anak, pihak lain memandangnya sebagai suatu yang tidak tepat Maka sehebat apapun manusia berteori, tidak akan terlepas dari kemampuan akalnya yang terbatas.

Para Nabi banyak berdoa agar dikaruniai anak-anak yang taat kepada Allah. Perhatikan doa Nabi Ibrahim (Q.S Albaqarah:128-129 dan Ibrahim:35), doa nabi Zakaria (Q.S Maryam: 5-6 ), dan doanya hamba-hamba Allah yang sholeh (Q.S Al-Furqon:74).

Keberhasilan dalam pendidikan anak akan memunculkan generasi yang akan merubah umat manusia dari kegelapan syirik, kebodohan, kesesatan dan kekacauan menuju cahaya tauhid, ilmu, hidayah dan membawa kedamaian dan rahmatan lil'alamin, sehingga dapat menentukan kesuksesan dan keberhasilannya dalam mengemban amanah sebagai khalifah Allah di muka bumi. Tidak cukup hanya itu saja bahkan untuk orang tuanya yang sudah meninggal (di alam barzakh), anak sholeh ini menjadi sumber pahala yang terus mengalir tak putus-putusnya bagi mereka.

***